Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hari Kesaktian Pancasila

Hari Kesaktian PancasilaHari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober tidak terlepas dari sebuah insiden berdarah. Insiden tersebut adalah pembantaian terhadap enam Jenderal dan seorang Kapten serta beberapa korban lain. Peristiwa berdarah tersebut dikenal sebagai upaya kudeta Partai Komunis Indonesia untuk mengubah ideologi Pancasila dengan ideologi komunis.

Hari Kesaktian Pancasila

Hari Kesaktian Pancasila

Insiden pembantaian pada 30 September melatarbelakangi penetapan Hari Kesaktian Pancasila. Tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, hari dimanan Pancasila memiliki kesaktian yang tidak dapat digantikan oleh paham apapun. Hari Kesaktian Pancasila ini dilahirkan oleh Jenderal Soeharto dalam rangka melakukan terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Pancasila sendiri dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945 dengan Presiden Soekarno sebagai penggalinya.

Soekarno sebagai penggali Pancasila sendiri tidak pernah menjadikannya sebagai pusaka yang sakti. Pancasila lahir secara wajar dan sesuai dengan keadaan objektif saat itu. Namun, dalam perkembangannya pada masa pemerintahan Soekarno, Pancasila diterima oleh bangsa Indonesia sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Di pihak lainnya, rongrongan-rongrongan dan pemberontakan kaum reaksioner DI/TII, PRRI/Permesta dan tindakan mereka yang membentuk Dewan Gajah, Dewan Banteng, dan sebagainya kemudian mampu dihancurkan dengan dukungan rakyat.

Pada masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru), sebuah film biasanya diputar dan dipertotonkan melalui media televisi nasional. Hal ini bertujuan untuk mengenang kejadian G30S/PKI. Bahkan hingga saat ini, masih selalu dilaksanakan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti yang berlokasi di lokasi Lubang Buaya. Setelah upacara, kemudian berlanjut dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. 

Inilah penjelasan mengenai sejarah Hari Kesaktian Pancasila Tanggal 1 Oktober. Penetapan hari ini menjadi bukti sejarah bahwa bangsa ini dapat bertumbuh menjadi bangsa yang besar dan mampu menggerakkan seluruh bangsa untuk bersati dan memaknai Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. 

Latar belakan Gerakan 30 September 1965

Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan peristiwa G30S/PKI merupakan insiden berdarah yang menyebabkan enam perwira tinggi berpangkat jenderal, seorang kapten, dan beberapa orang lainnya terbunuh. Hal ini dianggap sebagai upaya pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa pengawal istana yang dikenal sebagai Pasukan Cakrabirawa. Pasukan tersebut dianggap mendukung PKI (Partai Komunis Indonesia) yang saat dikomandoi oleh Letkol Untung. Baca juga sejarah PKI, sejarah partai politik, sejarah pemilu di Indonesia, dan sejarah pemilu pertama di dunia.

Korban dari peristiwa G30S/PKI tersebut diantaranya adalah:

  1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/ Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi/ Panglima Angkatan Darat)
  2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Panglima AD Bidang Administrasi/ Deputi II Menteri)
  3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan/ Deputi III Menteri)
  4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Panglima AD Bidang Intelijen/ Asisten I Menteri)
  5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Panglima AD Bidang Logistik/ Asisten IV Menteri)
  6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Oditur Jenderal Angkatan Darat/ Inspektur Kehakiman)

Korban sejarah G30S/PKI tersebut ditemukan pada 3 Oktober 1965 di sebuah lubang yang berada di sebuah wilayah di Pondok Gede. Lubang tersebut kemudian dikenal dengan nama lubang buaya. Baca juga sejarah lubang buaya, sejarah Monumen Trisula, dan monumen di Indonesia.

Sasaran utama Jenderal TNI Abdul Harris Nasution selamat dari insiden tersebut. Namun, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean dan Ade Irma Suryani Nasution terbunuh karena salah sasaran. Selain beberapa anggota perwira, terdapat juga korban lainnya yang ikut menjadi korban diantaranya adalah:

  1. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/ Pamungkas, Yogyakarta)
  2. Kol. Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/ Pamungkas, Yogyakarta)
  3. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal Kediaman Resmi Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena)

Pasca Insiden 30 September 1965

Setelah insiden tersebut, PKI telah melakukan pergerakan dengan menguasai dua sarana komunikasi penting, yaitu Studio RRI (Radio Republik Indonesia) di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan. Melalui media RRI, PKI menyiarkan berita kepada masyarakat terkait adanya sebuah Gerakan 30 September yang dialamatkan pada anggota “Dewan Jenderal” yang akan melakukan kudeta pemerintahan. Selain itu, mereka juga mengumumkan telah dibentuknya sebuah “Dewan Revolusi” yang diketahui langsung oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo.

Sementara itu, di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta PKI juga telah melakukan tindakan pembunuhan terhadap dua perwira tinggi Angkatan Darat. Hal ini karena kedua perwira tersebut menolak adanya pembentukan Dewan Revolusi. Kedua perwira tersebut adalah:

  1. Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta)
  2. Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta)

Kedua perwira tersebut diculik oleh PKI pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada 1 Oktober 1945, Presiden Soekarno dan Sekretaris Jenderal PKI Aidit menganggap pembentukan Dewan Revolusioner sebagai sebuah upaya pemberontakan oleh PKI. Hal  ini menyebabkan pemerintah memutuskan untuk mendapatkan perlindungan dengan pindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim yang berlokasi di Jakarta. Hingga akhirnya pada 6 Oktober Presiden Soekarno menyatakan seruan pada seluruh rakyat untuk bersatu demi “persatuan nasional”. Persatuan yang dimaksud adalah sebuah persatuan yang terjadi diantara angkatan bersenjata serta para korban dan penghentian kekerasan.

Biro Politik dan Komite Sentral PKI selanjutnya menyarankan seluruh anggota organisasi massa agar segera memberi dukungan pada “pemimpin revolusi Indonesia” dengan tidak melakukan perlawana terhadap angkatan militer. Pernyataan tersebut pun dicetak dalam surat kabar CPA bernama Tribune. Para Pemipin Uni Soviet, yakni Brezhnev, Mikoyan, dan Kosygin, mengirimkan sebuah pesan secara khusus yang ditujukan kepada Presiden Soekarno pada 12 Oktober 1965. Pesan tersebut berisi:

“Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan Anda telah membaik. Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato Anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan. Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam.”

Hingga akhirnya pada 16 Oktober 1965, Presiden Soekarno mengangkat Mayjen Soeharto menjadi Menteri sekaligus Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Hal ini diputuskan berdasarkan saran-saran dari beberapa penasihatnya. Kutipan amanat Presiden Soekarno yang diberikan kepada Soeharto pada saat pelantikan berlangsung yakni:

“… Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekalai menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Manipol-USDEK. Manipol-USDEK telah ditemukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan Negara Republik Indonesia…”

“… Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada Negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Agkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revolusi kita bisa jaya. Soeharto, sebagai Panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!…”

Pembantaian Anggota-anggota PKI

Setelah insiden 30 September 1965 yang menganggap bahwa pembantaian kepada para perwira tinggi AD adalah perbuatan PKI. Seluruh anggota baik pendukung maupun gerakan lain yang berada di bawah naungan PKI dimasukkan ke sel tahanan. Selanjutnya mereka disiksa, diintrogasi, dan setelahnya dibunuh. Terjadi banyak pembunuhan di wilayah Jawa Tengah pada bulan Oktober, Jawa Timur pada bulan November, dan Bali pada bulan Desember. Banyaknya jumlah orang yang dibantai tdak diketahui dengan pasti, tetapi perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara lainnya 2.000.000 orang. Sementara itu, setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)

Sekitar lima bulan setelah peristiwa G30S/PKI, maka pada 11 Maret 1966 Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto yakni melalui sebuah Surat Perintah Sebelas Maret. Surat perintah dari Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tidak terbatas bagi Soeharto. Saat itu, Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Kemanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Soeharto diminta menentukan “langkah-langkah” yang sesuai demi memulihkan keadaan supaya kembali tenang.

Kekuatan yang kemudian diberikan kepada Soeharto lantas digunakan untuk membuat sebuah keputusan. PKI pun dilarang berada maupun tumbuh di wilayah Indonesia. Pimpinan PKI terus memberikan himbauan kepada para pendukungnya untuk mengikuti setiap kewenangan yang diberlakukan oleh Soekarno-Soeharto. Selaku pemimpin PKI, D.N. Aidit, kemudian tertangkap dan dibunuh oleh TNI dalam upaya pelariannya pada 24 November 1966. Sementara itu, mengingat jasa-jasa Presiden Soekarno maka beliau tetap dipertahankan namun hanya sebagai presiden titular diktatur militer hingga Maret 1967.